Kata keberuntungan atau orang jawa bilang "untung-untungan" mungkin menjadi kata kunci yang menjadi motifasi bagi kaum urban yang tinggal di Ibu Kota Indonesia.
Jakarta bukan kota nasib-nasibpan juga bukan kota untung-untungan, Jakarta semakin memperlihatkan karakternya, saat ini yang bisa bertahan di Jakarta adalah orang yang paling siap terhadap peluang. Seberapa besar paluang itu ada, tapi manusianya tidak siap maka faktor "x" (keberuntungan) sudah tidak menghampiri manusia itu lagi.
Malam itu adalah malam penegasan, tepatnya di pertigaan Manggarai, gemerlap kehidupan Jakarta di waktu malam sungguh terlihat, terlihat pula kaum urban yang mempertahankan "untung-untungan".
Malam itu seorang kakek dengan sangat tajam menatap ku, aku pun mengelak sesekali terhadap tatapan kakek. Kakek itu sesekali keluar kaki lima, dan sesekali di hampiri temen mudanya yang penuh dengan tato. Kemudian sang kakek memesan sama dengan yang aku pesan, yaitu nasi goreng. Tak lama kemudian pesananku ternyata lebih dulu, dan saat itu juga sang kakek mengeluarkan isi dalam kantongnya yang penuh, ternyata isinya uang yang semuanya ribuan yang terlipat tak beraturan per lembar.
Kakek itu masih saja menatapku tajam, aku pun kembali serius dengan nasi goreng ku. Aku mulai curiga apa sebenarnya profesi sang kakek ini. Aku menebak mungkin buruh bajaj atau becak?. Membuktikan rasa penasaranku, aku pun menunggu sang kakek selesai makan, emm nikmatnya sang kakek makan nasi goreng setelah semua uangnya selesai di rapikan. Tak lama, ternyata sang kakek adalah seorang parkir gelap di Jalan masuk sekitar pertigaan Manggarai, yang di situ banyak penjual alat-alat bekas kebutuhan rumah tangga.
Seumur Kakek seharusnya sudah bisa menikmati masa tuanya yang jauh dengan kehidupan keras, mungkinkan sang kakek adalah orang yang beruntung hidup di Jakarta? ataukah sang kakek adalah orang yang paling siap tinggal di Jakarta?.
No comments:
Post a Comment